Selasa, 15 Januari 2013

Macam-macam Tarian Tradisonal

Tarian Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang biasa digunakan atau ditarikan di dalam keraton, karena biasa dipertunjukkan untuk mengiringi upacara Tingalan Jumeneng Dalem (ulang tahun penobatan raja).
Tarian ini ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Ke sembilan penari putri tadi dicarikan yang sama atau hampir mirip Wajahnya, besar tinggi badannya. Begitu juga dengan tata rias dan tata pakaiannya sama. Ada nama-nama tersendiri untuk ke sembilan penari tersebut yaitu Endel, Batak, Jangga, Dada, Bunthil, Apit Ngajeng, Apit Wingking, Endel Wedalan Ngajeng, dan Endel Wedalan Wingking.
Tarian Bedhaya Ketawang ini ditarikan oleh sembilan penari putri karena sembilan penari tersebut mencerminkan atau menyimbolkan sembilan lubang pada tubuh manusia. Penarinya juga harus masih perawan. Untuk latihan tarian ini tidak boleh di sembarang hari, ada hari khusus untuk latihan tarian ini yaitu hari Selasa Kliwon.
Tarian ini diiringi gendhing ketawang. Baik tari maupun gendhing pengiringnya merupakan sesuatu yang kramat, sehingga untuk menyajikannya harus didahului dengan suatu upacara tersendiri.
Tari Bedhaya Ketawang ini melukiskan kisah pertemuan antara panembahan Senapati seorang raja Mataram dengan Nyi Roro Kidul seorang ratu di lautan Indonesia.
Di Keraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang pada mulanya hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari uang amat sakral kemudian diperankan oleh sembilan prang penari.
Tarian ini muncul karena akibat bersemadinya panembahan Senapati di pantai selatan. Dalam semadinya panembaan Senapati bertemu dengan Ratu Kidul yang sedang menari. Ratu Kidul ini mengajarkan pada panembahan Senapati Mataram, yang disesuaikan dengan alunan sebuah gendhing yang di dengar.

Tari Srimpi

Tarian ini ditarikan oleh empat orang penari putri dengan membawa Perlengkapan botol isi minuman dan gelas. Ke empat penari putri ini menggambarkan empat arah mata angin. Untuk tata rias dan pakaian sama, demikian juga ke empat penari itu dicarikan wajah dan besar serta tinggi tubuh yang sama atau hampir mirip. Tari ini diiringi dengan gendhing Sanyupati untuk upacara penyambutan tamu agung.
Di dalam tarian ini dapat ditemui saat-saat para penari menuangkan minuman ke dalam gelas untuk kemudian diminumnya. Bertepatan dengan adegan tersebut, para tamu berdiri dan bersama-sama meminum minuman yang telah disediakan di tempat masing-masing.

Tari Kebo Kinul

Kebo Kinul merupakan orang-orangan di tengah sawah, di desa Genengsari biasa disebut Sawi (batang kayu yang ditutup jerami dan dibentuk mirip manusia) yang berfungsi untuk mengusir hama tanaman padi. Biasanya dipertunjukkan saat upacara bersih desa.
Tarian ini mengisahkan legenda desa Genengsari yang menceritakan tentang Kebo Kinul yang merasa tidak dihargai keberadaannya menjadi marah dan menyerang warga desa serta menyebarnya penyakit ke seluruh desa Genengsari. Namun semua itu teratasi atas seorang kyai yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut, akhirnya Kebo Kinul dapat menjadi sahabat kembali.
Para penari dirias berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing, yaitu:
Kebo Kinul
Wajah tanpa riasan, mulut ditutup mendhong, sebelumnya memakai kain dan celana hitam. Penutup tubuh dua bagian. Setiap tubuh diikat berbeda, yaitu lengan ditutup mendhong, diikat menjadi tiga (lengan atas, bawah, tengah), kepala diikat menjadi satu bagian (leher), dan diatas kepala diikat tiga bagian.

Wadyabala

Wajah dirias menggunakan simit (pewarna tubuh). Untuk badan, tangan dan kaki menggunakan putih, merah dan hitam. Dari punggung ke bawah mengenakan kain kotak-kotak dan kepada diikat.

Kyai Penthul

Mengenakan kaos hitam, celana panjang putih, baju panjang sampai bawah lutut berlengan panjang berwarna putih, kepala menggunakan sorban warna putih, dilengkapi dengan sabuk, epek timang dan keris.

Pak Tani

Mengenakan celana sebatas lutut warna hitam, baju lengan panjang dan menggunakan caping.

Mbok Tani

Rambut disanggul konde, mengenakan jarik wiron dan kebaya lengan panjang serta menggunakan caping.

R. Panji Dikrama

Mengenakan celana selutut, jarik wiron, cantukan rompi dilengkapi dengan sabuk, epek timang, sampur dan blangkon.

Gadung Mlati

Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kemben serta sanggul konde.

Pemesik

Menggunakan celana komprang hitam, baju hitam lengan panjang dan iket.

Waranggana

Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kebaya serta sanggul konde.

Tari Kelana Topeng

Tari Kelana Topeng sebuah tarian yang menggambarkan seorang raja dalam cerita panji sedang jatuh cinta pada seorang putri dari kerajaan Kediri. Tari ini ditarikan oleh seorang penari dan pada susunan kostumnya menggunakan topeng.

Tari Prawiraguna

Tari ini bertemakan heroic, menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih perang dengan membawa senjata tameng dan pedang atau tongkat pendek.

Tari Minak Jingga Dayun

Tarian ini diangkat dari epos cerita Damarwulan pada waktu kerajaan Majapahit diperintah oleh Ratu Kencana Wungu. Ketika itu Minak Jingga menjadi Adipati Blambangan dan merupakan seorang Adipati yang sakti. Dia begitu senang hatinya berada di bawah kekuasaan seorang raja wanita dan bahkan dia ingin mempersunting sebagai istri. Di saat-saat dirundung cinta kepada Ratu Ayu Kencana Wungu selalu diladeni oleh abdi setianya yang bernama Dayun.

Tari Jaka Tarub Nawang Wulan

Tarian ini menggambarkan seorang jejaka yang bernama Jaka Tarub sedang memadu kasih dengan seorang bidadari yang bernama Nawang Wulan. Jaka Tarub yang sedang berburu dengan sumpitnya tiba-tiba sampai pada telaga yang sedang digunakan untuk mandi para bidadari. Dia berhasil mencari salah satu pakaian mereka, ternyata pakaian milik Nawang Wulan. Jaka Tarub berhasil membujuk Nawang Wulan untuk dijadikan istrinya dan kemudian ddibawanya serta ke desa Tarub.

Tari Wireng Bandabaya

Wireng Bandabaya merupakan tarian yang menggambarkan dua orang prajurit yang sedang berlatih perang. Dalam latihan tersebut mereka membawa tameng dan senjata. Dalam tarian ini senjatanya berupa tongkat pendek. Kalau menggunakan senjata Bindi biasanya dinamakan Bandayuda sedang senjata tombak biasa disebut Prawira Watang. Biasanya Wireng ini ditarikan oleh empat orang penari dalam bentuk berpasangan.

Tari Karna Tinandang

Tari ini menggambarkan perang tanding antara Arjuna melawan Prabu Karna. Kedua tokoh tersebut adalah dua orang Senapati besar dalam peperangan antara Pandawa melawan Kurawa yang disebut Baratayudha. Prabu Karna adalah Senapati perang dari pihak Kurawa sedang Arjuna adalah Senapati dari pihak Pandawa. Dalam tarian ini digunakan senjata debeng (semacam tameng) serta keris.

Tari Srikandi Bisma

Tari ini merupakan petikan dari Baratayudha, merupakan peperangan antara Senapati Puri dari pihak Pandawa yang bersama Srikandi melawan Senapati dari pihak Kurawa yang bernama Resi Bisma.

Tari Bambagan Cakil

Tarian ini menggambarkan peperangan antara lambang kebenaran dalam bentuk Bambangan melawan lambang kejahatan yang berbentuk raksasa cakil. Tokoh Bambangan ini dapat digambarkan dengan Arjuna, Abimanyu dan sebagainya. Kadangkala dalam tarian ini setelah raksasa cakil dapat dikalahkan disusul dengan perang melawan raksasa yang membela kawannya yang telah mati tadi.

Tari Retna Pramudya

Tarian ini menggambarkan dua orang prajurit putri yang sedang berlatih perang. Senjata yang dipergunakan adalah jemparing atau periah.

Tari Tayub

Tari Tayub merupakan tarian yang berkembang dikalangan masyarakat, dahuluy merupakan tarian untuk menghibur masyarakat yang telah menyelesaikan tugasnya dengan hasil gemilang. Dalam tari ini penari membawa selendang untuk pada suatu saat diserahkan kepada para penonton untuk diajak menari bersama-sama.

Tari Bondan

Tari Bondan menggambarkan seorang gadis yang sedang merawat bayi dengan penuh kasih sayang. Pada tari ini digunakan pula sebuah kendi yang pada saat-saat tertentu penari naik diatasnya sambil menari, dan pada akhir tarinya kendi tersebut dipecah diatas pentas untuk menunjukkan bahwa kendi tersebut tidak berisi apa-apa di dalamnya.

Tari Gambyong

Tari ini menggambarkan kegairahan seorang remaja putri dalam merawat dirinya. Meskipun tarian ini termasuk bentuk tarian tunggal tetapi kadangkala dapat ditarikan oleh beberapa petami dalam bentuk kelompok dengan permainan komposisi ruang.
Penari Gambyong pada mulanya mengisi gending yang dibunyikan dengan gerak-gerak tari yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan saling menguji ketrampilan antara penari dan pengendangnya. Iringan yang digunakan adalah gending Ageng seperti misalnya gending Gambir Sawit Pancerana dan sebagainya.

Tari Gambir Anom

Tari ini menggambarkan seorang raja yang sedang jatuh cinta pada seorang putri kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Tih Sari, Prabu Gambir Anom sebenarnya adalah salah seorang putra dari Arjuna yang bernama Irawan. Biasanya tari ini diiringi susunan iringan yang terdiri dari Lancaran Rena-rena, Ketawang Kinanti Sandung dan Srepengan.

Tari Gatotkaca Gandrung

Tarian ini menggambarkan tingkah laku Gatotkaca tatkala berangan-angan ingin mempersunting putri itu menjadi istrinya. Kadangkala untuk lebih memberi hidup pada tarian ini ditunjukkan pula tokoh Pregiwa sebagai bayangan atau ilusi.

Tari Jurit Sarupaten

Jurit Sarupaten adalah sebuah tarian yang memadukan gerak pahlawan Untung Suropati dalam melawan penjajah. Dipadu dengan musik gending Red yang tidak ada pada tari lain, tari ini semakin indah tatkala prajurit memainkannya naik kuda yang melambangkan kegagahan.
Para pengunjung baik wisatawan asing maupun dalam negeri, akan diiringi tarian ini ketika menelusuri tembok dan sanggar Tosan Aji.

Tari Merak

Tarian merak ini merupakan tarian yang melambangkan gerakan-gerakan burung Merak. Merupakan tarian Solo, biasanya dilakukan oleh beberapa orang penari. Penari umumnya memakai selendang yang diikat dipinggang yang jika dibentangkan akan menyerupai sayap burung. Penari juga memakai mahkota berbentuk kepala burung Merak. Gerakan tangan yang gemulai dan iringan gamelan, merupakan salah satu karakteristik tarian ini.

Tari Kukilo

Tarian ini menggambarkan beterbangan dan berkejar-kejaran di udara. Baik irama maupun ragam gerak yang dinamis dan lincah disusun untuk menggambarkan kegesitan sekawanan burung dalam meluncur, hinggap dan kembali terbang.

Tari Jaranan

Tarian ini menggambarkan tingkah laku jaran. Tari Jaranan ini menceritakan tentang kemenangan warga desa dalam mengusir marabahaya atau keangkaramurkaan yang menyerang desanya. Biasanya para penari membawa jaranan dan pecut.

Tari Karonsih dan Tari Lambangsih

Tarian Karonsih dan Lambangsih menggambarkan orang yang sedang bermadu kasih (antara laki-laki dan perempuan). Tarian iuni biasanya ditarikan pada acara resepsi pernikahan sebagai lambang cinta kasih kedua mempelai, bagaikan percintaannya antara Dyah Sekartaji dengan Panji Asmara Bangun.

Tari Wira Pertiwi

Tari Wira Pertiwi ini sama halnya dengan tarian Retna Pramudya yang menggambarkan prajurit wanita yang sedang berlatih perang. Dalam tarian ini gerakannya dinamis yang menggambarkan prajurit wanita itu tegas, tangkas dan tangguh.

Tari Dewi Sri

Tarian Dewi Sri ini berasal dari Karanganyar Solo, yang melambangkan kesuburan saat panen dan diiringi musik lesung.

Tari Golek Manis

Tarian ini sama atau mirip dengan tari Gambyong yaitu mengisahkan kegairahan seorang putri yang menginjak remaja dengan menata diri atau berdandan. Tari Golek Manis ini tercipta dari wayang golek, wayang kurcil dan wayang yang lain yang kemudian diubah ke dalam bentuk tarian.

Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho

Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho ini menggambarkan atau mengisahkan prajurit yang sedang perang. Biasanya para penarinya membawa tongkat.

Tari Manipuri

Tari Manipuri menggambarkan seorang gadis yang harus mandi kemudian melakukan tata diri atau berdandan.

Tari Srikandi Mustaka Weni

Tari Srikandi Mustaka Weni menggambarkan seorang prajurit wanita yang sedang perang.

Tari Jatilan

Di daerah klaten dikenal adanya tari Jatilan. Jatilan adalah tari tradisional yang menggambarkan tentang keprajuritan, pada waktu perang perangan yang dilakukan beberapa orang dengan cara naik kuda kepang. Dalam tari Jatilan ini diperagakan dengan pakai kuda kepang atau kuda lumping yang dikendalikan oleh seorang pawang yang diawasi oleh Ki pentul dan Ki tembem.
Tarian ini biasanya diiringi dengan gamelan yang berupa : kendang, bende dan kecer. Dalam tari Jatilan ini dimasukan unsur magis yang melambangkan kekebalan dari pihak pemain mengenakan topeng atau kacamata hitam. Tari Jatilan di Kabupaten Klaten yang terkenal adalah Tari Jatilan dari Desa Bugisan Kecamatan Prambanan. Tari Jatilan ini dipentaskan tiap hari jumat di panggung terbuka di Desa Bugisan Kecamatan Prambanan untuk para turis asing maupun domestik.

Tari Topeng

Tari topeng adalah yang biasa dimainkan di daerah klaten. Kesenian tradisional yang para pemainnya mengenakan topeng sesuai dengan peran atau dapukaannya. Timbulnya kesenian ini dari Kediri Jawa Timur, tari topeng dilaksanakan dengan percakapan atau dialog dan diiringi gamelan jawa selendro lengkap. Adapun tema ceritanya adalah cerita Panji.
Di Kabupaten Klaten untuk pertama kali dilaksanakan oleh para dalang wayang kulit dan perkumpulan tari topeng yang terkenal bernama Magodo di Desa Jogosetran Kecamatan Kalikotes.
Keistimewaan Tari Topeng pada saat itu yaitu tidak setiap orang bisa melakukannya kecuali para dalang, kesenian topeng ini dalam dialog ada yang melepaskan topeng dari gigitan, akan tetapi tetap dipegang untuk menutupi mukanya. Tarian ini khusus dipentaskan pada siang hari dan tidak dilaksanakan pada malam hari. Namun demikian pada saat sekarang tari topeng tersebut sudah dapat dilaksanakan oleh para remaja.
  1. Tarian Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang biasa digunakan atau ditarikan di dalam keraton, karena biasa dipertunjukkan untuk mengiringi upacara Tingalan Jumeneng Dalem (ulang tahun penobatan raja).
Tarian ini ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Ke sembilan penari putri tadi dicarikan yang sama atau hampir mirip Wajahnya, besar tinggi badannya. Begitu juga dengan tata rias dan tata pakaiannya sama. Ada nama-nama tersendiri untuk ke sembilan penari tersebut yaitu Endel, Batak, Jangga, Dada, Bunthil, Apit Ngajeng, Apit Wingking, Endel Wedalan Ngajeng, dan Endel Wedalan Wingking.
Tarian Bedhaya Ketawang ini ditarikan oleh sembilan penari putri karena sembilan penari tersebut mencerminkan atau menyimbolkan sembilan lubang pada tubuh manusia. Penarinya juga harus masih perawan. Untuk latihan tarian ini tidak boleh di sembarang hari, ada hari khusus untuk latihan tarian ini yaitu hari Selasa Kliwon.
Tarian ini diiringi gendhing ketawang. Baik tari maupun gendhing pengiringnya merupakan sesuatu yang kramat, sehingga untuk menyajikannya harus didahului dengan suatu upacara tersendiri.
Tari Bedhaya Ketawang ini melukiskan kisah pertemuan antara panembahan Senapati seorang raja Mataram dengan Nyi Roro Kidul seorang ratu di lautan Indonesia.
Di Keraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang pada mulanya hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari uang amat sakral kemudian diperankan oleh sembilan prang penari.
Tarian ini muncul karena akibat bersemadinya panembahan Senapati di pantai selatan. Dalam semadinya panembaan Senapati bertemu dengan Ratu Kidul yang sedang menari. Ratu Kidul ini mengajarkan pada panembahan Senapati Mataram, yang disesuaikan dengan alunan sebuah gendhing yang di dengar.
  1. Tari Srimpi
Tarian ini ditarikan oleh empat orang penari putri dengan membawa Perlengkapan botol isi minuman dan gelas. Ke empat penari putri ini menggambarkan empat arah mata angin. Untuk tata rias dan pakaian sama, demikian juga ke empat penari itu dicarikan wajah dan besar serta tinggi tubuh yang sama atau hampir mirip. Tari ini diiringi dengan gendhing Sanyupati untuk upacara penyambutan tamu agung.
Di dalam tarian ini dapat ditemui saat-saat para penari menuangkan minuman ke dalam gelas untuk kemudian diminumnya. Bertepatan dengan adegan tersebut, para tamu berdiri dan bersama-sama meminum minuman yang telah disediakan di tempat masing-masing.
  1. Tari Kebo Kinul
Kebo Kinul merupakan orang-orangan di tengah sawah, di desa Genengsari biasa disebut Sawi (batang kayu yang ditutup jerami dan dibentuk mirip manusia) yang berfungsi untuk mengusir hama tanaman padi. Biasanya dipertunjukkan saat upacara bersih desa.
Tarian ini mengisahkan legenda desa Genengsari yang menceritakan tentang Kebo Kinul yang merasa tidak dihargai keberadaannya menjadi marah dan menyerang warga desa serta menyebarnya penyakit ke seluruh desa Genengsari. Namun semua itu teratasi atas seorang kyai yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut, akhirnya Kebo Kinul dapat menjadi sahabat kembali.
Para penari dirias berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing, yaitu:
  1. Kebo Kinul
Wajah tanpa riasan, mulut ditutup mendhong, sebelumnya memakai kain dan celana hitam. Penutup tubuh dua bagian. Setiap tubuh diikat berbeda, yaitu lengan ditutup mendhong, diikat menjadi tiga (lengan atas, bawah, tengah), kepala diikat menjadi satu bagian (leher), dan diatas kepala diikat tiga bagian.

  1. Wadyabala
Wajah dirias menggunakan simit (pewarna tubuh). Untuk badan, tangan dan kaki menggunakan putih, merah dan hitam. Dari punggung ke bawah mengenakan kain kotak-kotak dan kepada diikat.

  1. Kyai Penthul
Mengenakan kaos hitam, celana panjang putih, baju panjang sampai bawah lutut berlengan panjang berwarna putih, kepala menggunakan sorban warna putih, dilengkapi dengan sabuk, epek timang dan keris.

  1. Pak Tani
Mengenakan celana sebatas lutut warna hitam, baju lengan panjang dan menggunakan caping.

  1. Mbok Tani
Rambut disanggul konde, mengenakn jarik wiron dan kebaya lengan panjang serta menggunakan caping.

  1. R. Panji Dikrama
Mengenakn celana selutut, jarik wiron, cantukan rompi dilengkapi dengan sabuk, epek timang, sampur dan blangkon.

  1. Gadung Mlati
Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kemben serta sanggul konde.

  1. Pemesik
Menggunakan celana komprang hitam, baju hitam lengan panjang dan iket.

  1. Waranggana
Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kebaya serta sanggul konde.
  1. Tari Kelana Topeng
Tari Kelana Topeng sebuah tarian yang menggambarkan seorang raja dalam cerita panji sedang jatuh cinta pada seorang putri dari kerajaan Kediri. Tari ini ditarikan oleh seorang penari dan pada susunan kostumnya menggunakan topeng.

  1. Tari Prawiraguna
Tari ini bertemakan heroic, menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih perang dengan membawa senjata tameng dan pedang atau tongkat pendek.

  1. Tari Minak Jingga Dayun
Tarian ini diangkat dari epos cerita Damarwulan pada waktu kerajaan Majapahit diperintah oleh Ratu Kencana Wungu. Ketika itu Minak Jingga menjadi Adipati Blambangan dan merupakan seorang Adipati yang sakti. Dia begitu senang hatinya berada di bawah kekuasaan seorang raja wanita dan bahkan dia ingin mempersunting sebagai istri. Di saat-saat dirundung cinta kepada Ratu Ayu Kencana Wungu selalu diladeni oleh abdi setianya yang bernama Dayun.

  1. Tari Jaka Tarub Nawang Wulan
Tarian ini menggambarkan seorang jejaka yang bernama Jaka Tarub sedang memadu kasih dengan seorang bidadari yang bernama Nawang Wulan. Jaka Tarub yang sedang berburu dengan sumpitnya tiba-tiba sampai pada telaga yang sedang digunakan untuk mandi para bidadari. Dia berhasil mencari salah satu pakaian mereka, ternyata pakaian milik Nawang Wulan. Jaka Tarub berhasil membujuk Nawang Wulan untuk dijadikan istrinya dan kemudian ddibawanya serta ke desa Tarub.

  1. Tari Wireng Bandabaya
Wireng Bandabaya merupakan tarian yang menggambarkan dua orang prajurit yang sedang berlatih perang. Dalam latihan tersebut mereka membawa tameng dan senjata. Dalam tarian ini senjatanya berupa tongkat pendek. Kalau menggunakan senjata Bindi biasanya dinamakan Bandayuda sedang senjata tombak biasa disebut Prawira Watang. Biasanya Wireng ini ditarikan oleh empat orang penari dalam bentuk berpasangan.

  1. Tari Karna Tinandang
Tari ini menggambarkan perang tanding antara Arjuna melawan Prabu Karna. Kedua tokoh tersebut adalah dua orang Senapati besar dalam peperangan antara Pandawa melawan Kurawa yang disebut Baratayudha. Prabu Karna adalah Senapati perang dari pihak Kurawa sedang Arjuna adalah Senapati dari pihak Pandawa. Dalam tarian ini digunakan senjata debeng (semacam tameng) serta keris.

  1. Tari Srikandi Bisma
Tari ini merupakan petikan dari Baratayudha, merupakan peperangan antara Senapati Puri dari pihak Pandawa yang bersama Srikandi melawan Senapati dari pihak Kurawa yang bernama Resi Bisma.

  1. Tari Bambagan Cakil
Tarian ini menggambarkan peperangan antara lambang kebenaran dalam bentuk Bambangan melawan lambang kejahatan yang berbentuk raksasa cakil. Tokoh Bambangan ini dapat digambarkan dengan Arjuna, Abimanyu dan sebagainya. Kadangkala dalam tarian ini setelah raksasa cakil dapat dikalahkan disusul dengan perang melawan raksasa yang membela kawannya yang telah mati tadi.

  1. Tari Retna Pramudya
Tarian ini menggambarkan dua orang prajurit putri yang sedang berlatih perang. Senjata yang dipergunakan adalah jemparing atau periah.

  1. Tari Tayub
Tari Tayub merupakan tarian yang berkembang dikalangan masyarakat, dahuluy merupakan tarian untuk menghibur masyarakat yang telah menyelesaikan tugasnya dengan hasil gemilang. Dalam tari ini penari membawa selendang untuk pada suatu saat diserahkan kepada para penonton untuk diajak menari bersama-sama.

  1. Tari Bondan
Tari Bondan menggambarkan seorang gadis yang sedang merawat bayi dengan penuh kasih sayang. Pada tari ini digunakan pula sebuah kendi yang pada saat-saat tertentu penari naik diatasnya sambil menari, dan pada akhir tarinya kendi tersebut dipecah diatas pentas untuk menunjukkan bahwa kendi tersebut tidak berisi apa-apa di dalamnya.

  1. Tari Gambyong
Tari ini menggambarkan kegairahan seorang remaja putri dalam merawat dirinya. Meskipun tarian ini termasuk bentuk tarian tunggal tetapi kadangkala dapat ditarikan oleh beberapa petami dalam bentuk kelompok dengan permainan komposisi ruang.
Penari Gambyong pada mulany mengisi dending yang dibunyikan dengan gerak-gerak tari yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan saling menguji ketrampilan antara penari dan pengendangnya. Iringan yang digunakan adalah gending Ageng seperti misalnya gending Gambir Sawit Pancerana dan sebagainya.

  1. Tari Gambir Anom
Tari ini menggambarkan seorang raja yang sedang jatuh cinta pada seorang putri kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Tih Sari, Prabu Gambir Anom sebenarnya adalah salah seorang putra dari Arjuna yang bernama Irawan. Biasanya tari ini diiringi susunan iringan yang terdiri dari Lancaran Rena-rena, Ketawang Kinanti Sandung dan Srepengan.

  1. Tari Gatotkaca Gandrung
Tarian ini menggambarkan tingkah laku Gatotkaca tatkala berangan-angan ingin mempersunting putri itu menjadi istrinya. Kadangkala untuk lebih memberi hidup pada tarian ini ditunjukkan pula tokoh Pregiwa sebagai bayangan atau ilusi.

  1. Tari Jurit Sarupaten
Jurit Sarupaten adalah sebuah tarian yang memadukan gerak pahlawan Untung Suropati dalam melawan penjajah. Dipadu dengan musik gending Red yang tidak ada pada tari lain, tari ini semakin indah tatkala prajurit memainkannya naik kuda yang melambangkan kegagahan.
Para pengunjung baik wisatawan asing maupun dalam negeri, akan diiringi tarian ini ketika menelusuri tembok dan sanggar Tosan Aji.

  1. Tari Merak
Tarian merak ini merupakan tarian yang melambangkan gerakan-gerakan burung Merak. Merupakan tarian Solo, biasanya dilakukan oleh beberapa orang penari. Penari umumnya memakai selendang yang diikat dipinggang yang jika dibentangkan akan menyerupai sayap burung. Penari juga memakai mahkota berbentuk kepala burung Merak. Gerakan tangan yang gemulai dan iringan gamelan, merupakan salah satu karakteristik tarian ini.

  1. Tari Kukilo
Tarian ini menggambarkan beterbangan dan berkejar-kejaran di udara. Baik irama maupun ragam gerak yang dinamis dan lincah disusun untuk menggambarkan kegesitan sekawanan burung dalam meluncur, hinggap dan kembali terbang.

  1. Tari Jaranan
Tarian ini menggambarkan tingkah laku jaran. Tari Jaranan ini menceritakan tentang kemenangan warga desa dalam mengusir marabahaya atau keangkaramurkaan yang menyerang desanya. Biasnya para penari membawa jaranan dan pecut.

  1. Tari Karonsih dan Tari Lambangsih
Tarian Karonsih dan Lambangsih menggambarkan orang yang sedang bermadu kasih (antara laki-laki dan perempuan). Tarian iuni biasanya ditarikan pada acara resepsi pernikahan sebagai lambang cinta kasih kedua mempelai, bagaikan percintaannya antara Dyah Sekartaji dengan Panji Asmara Bangun.

  1. Tari Wira Pertiwi
Tari Wira Pertiwi ini sama halnya dengan tarian Retna Pramudya yang menggambarkan prajurit wanita yang sedang berlatih perang. Dalam tarian ini gerakannya dinamis yang menggambarkan prajurit wanita itu tegas, tangkas dan tangguh.

  1. Tari Dewi Sri
Tarian Dewi Sri ini berasal dari Karanganyar Solo, yang melambangkan kesuburan saat panen dan diiringi musik lesung.

  1. Tari Golek Manis
Tarian ini sama atau mirip dengan tari Gambyong yaitu mengisahkan kegairahan seorang putri yang menginjak remaja dengan menata diri atau berdandan. Tari Golek Manis ini tercipta dari wayang golek, wayang kurcil dan wayang yang lain yang kemudian diubah ke dalam bentuk tarian.

  1. Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho
Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho ini menggambarkan atau mengisahkan prajurit yang sedang perang. Biasanya para penarinya membawa tongkat.

  1. Tari Manipuri
Tari Manipuri menggambarkan seorang gadis yang harus mandi kemudian melakukan tata diri atau berdandan.

  1. Tari Srikandi Mustaka Weni
Tari Srikandi Mustaka Weni menggambarkan seorang prajurit wanita yang sedang perang.

  1. Tari Jatilan
Di daerah klaten dikenal adanya tari Jatilan. Jatilan adalah tari tradisional yang menggambarkan tentang keprajuritan, pada waktu perang perangan yang dilakukan beberapa orang dengan cara naik kuda kepang. Dalam tari Jatilan ini diperagakan dengan pakai kuda kepang atau kuda lumping yang dikendalikan oleh seorang pawang yang diawasi oleh Ki pentul dan Ki tembem.
Tarian ini biasanya diiringi dengan gamelan yang berupa : kendang, bende dan kecer. Dalam tari Jatilan ini dimasukan unsur magis yang melambangkan kekebalan dari pihak pemain mengenakan topeng atau kacamata hitam. Tari Jatilan di Kabupaten Klaten yang terkenal adalah Tari Jatilan dari Desa Bugisan Kecamatan Prambanan. Tari Jatilan ini dipentaskan tiap hari jumat di panggung terbuka di Desa Bugisan Kecamatan Prambanan untuk para turis asing maupun domestik.

  1. Tari Topeng
Tari topeng adalah yang biasa dimainkan di daerah klaten. Kesenian tradisional yang para pemainnya mengenakan topeng sesuai dengan peran atau dapukaannya. Timbulnya kesenian ini dari Kediri Jawa Timur, tari topeng dilaksanakan dengan percakapan atau dialog dan diiringi gamelan jawa selendro lengkap. Adapun tema ceritanya adalah cerita Panji.
Di Kabupaten Klaten untuk pertama kali dilaksanakan oleh para dalang wayang kulit dan perkumpulan tari topeng yang terkenal bernama Magodo di Desa Jogosetran Kecamatan Kalikotes.

Mengenai Karawitan Jawa

Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik yang menjadi salah satu objek penting dalam lingkup pembicaraan musik di antara ribuan alat musik lain yang terdapat di dunia. Ketertarikan para sarjana menjadikan gamelan sebagai objek penelitian disebabkan oleh beberapa aspek keistimewaan yang terdapat di dalamnya. Beberapa keistimewaan gamelan Jawa terdapat pada aspek audio dan visualnya. Keistimewaan pada aspek audio meliputi: warna bunyi (tone colour), laras (scale system), embat (interval), dan pelayangan (sound wave), sedangkan keistimewaan pada aspek visualnya meliputi: bentuk, konstruksi, keindahan material yang dipakai, dan ornamennya.
Keistimewaan pada kedua aspek dan dukungan kualitas pada aspek musikalnya mendorong masyarakat dunia untuk mengakui bahwa gamelan Jawa adalah ‘the most sophisticated music in the world’. Negara yang sudah maju dan mempunyai peluang untuk mempelajari musik dunia, misalnya: Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Eropa, Australia, dan beberapa negara lainnya telah menjadikan gamelan Jawa sebagai lambang status pada beberapa universitasnya.
Gamelan Jawa terdiri dari kurang lebih dua puluh jenis instrumen. Bila dihitung secara keseluruhan dapat mencapai jumlah kurang lebih tujuh puluh lima buah, tergantung pada kebutuhan dengan rincian bahwa setiap instrumen terdiri dari dua buah untuk masing-masing laras (Lindsay, 1979: 3). Sebagian besar merupakan alat musik yang dikategorikan sebagai metallophone dari perunggu, tetapi di dalamnya juga terdapat alat musik dari kategori lainnya, yaitu: chordophone (rebab, siter, celempung), xylophone (gambang), aerophone (suling) dan membranophone (kendang) (Nettl, 1992: 133). Lebih spesifik merupakan seperangkat alat musik dengan laras tertentu (slendro atau pelog) (Vetter, 2001: 43). Berdasarkan fungsi pada instrumentasinya dibagi menjadi dua, yaitu: (1) instrumen yang bertugas untuk membawakan lagu (pamurba lagu), dan (2) instrumen yang bertugas untuk mengatur irama (pamurba wirama) (Sumarsam, 2002: 23).
Gamelan mempunyai posisi yang sangat unik pada proses perkembangan sejarahnya (Lindsay, 1979: 3). Reputasinya mampu menembus wilayah percaturan musik dunia. Tahun 1889-1890 mendapat kesempatan untuk diikutsertakan dalam pameran internasional di Paris. Beberapa keistimewaan pada bentuk fisik, kualitas bunyi, dan larasnya yang unik mengusik perhatian para pemusik dan komposer barat. Salah satunya adalah Claude Debussy yang kemudian melukiskan fantasinya pada sebuah komposisi baru dengan sentuhan gamelan di dalamnya (Wiranto, tt: 8).
Secara umum gamelan adalah sebagai salah satu media ekspresi bagi pengrawit (sebutan untuk pemusiknya) pada penyajian musik gamelan yang disebut dengan istilah karawitan. Dua unsur yang sangat penting untuk diperhatikan pada gamelan adalah perspektif kualitasnya yang menyangkut aspek audio dan visualisasinya. Gamelan yang diciptakan dengan perhitungan matang pada kualitas bunyi (sound quality) yang dihasilkan merupakan salah satu penunjang keberhasilan sebuah penyajian karawitan, di samping aspek penunjang lainnya, misalnya kemampuan pengrawit secara individual pada ketiga ranah. Pertama, yaitu kemampuan secara kognitif, meliputi: tafsir garap gending, tafsir garap instrumen, ketepatan pemilihan cengkok dan variasinya. Kedua, kemampuan pada psikomotorik, meliputi: ketrampilan dalam memainkan instrumen gamelan. Ketiga, adalah kemampuan afektif yang meliputi: perilaku dan sikap, baik pada saat bermain gamelan maupun tidak.
Kualitas bunyi yang baik pada masing-masing instrumen gamelan menjadi salah satu faktor penting yang dapat menentukan kualitas sebuah sajian karawitan, baik yang berkonsep tontonan maupun tidak. Kualitas pada aspek visual untuk sajian karawitan melalui media elektronik audio (radio, tape, cd dan perangkat elektronik audio lainnya) tidak menumbuhkan efek apapun bagi pendengarnya, karena tidak ada gambaran secara visual yang dapat diindera dengan penglihatan. Namun bagi para pengrawit (pemain gamelan) pada saat beraktivitas, baik pada saat melakukan proses perekaman atau siaran langsung, kualitas bunyi tersebut dapat menumbuhkan efek psikologis. Dampaknya ada dua kemungkinan, yaitu: dapat meningkatkan atau sebaliknya menurunkan semangat pada proses penyajiannya.
Aspek kualitas bunyi pada instrumen gamelan meliputi: keras-lembut, kenyaringan, dan resonansi yang terkait dengan panjang-pendek, intonasi, kuantitas, dan tingkat kerapatan gelombangnya. Satu hal yang sangat signifikan dan sangat penting untuk diperhatikan adalah ketepatan larasan nadanya. Kualitas bunyi dan penampilan yang dimiliki gamelan di keraton Yogyakarta atau Surakarta merupakan salah satu dari beberapa koleksi artefak kuno yang sangat membanggakan. Vetter menjelaskan bahwa keistimewaan pada keunikan bunyi dan karakteristik visual masing-masing perangkat gamelan di keraton menjadi sebuah inspirasi untuk memberikan penghargaan dengan sebutan “kanjeng kyahi” dari kata “ingkang panjenengan kyahi” yang biasanya disingkat menjadi KK (Vetter, 1992: 43).
Perkembangan Seni Karawitan Pada Masa Lampau
Telah lama diakui bahwa musik (termasuk seni karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Musik dianggap sebagai salah satu cermin dari masyarakat tertentu karena melalui terlihat ritual dan budaya sehari-hari. Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, dipahami bahwa melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan. Perkembangan instrumen gamelan dan alat musik lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya (Kunst, 1973: 11).
Masing-masing instrumen diciptakan secara bertahap dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi waktu, lokasi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu candi Dieng dan Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai beberapa alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrumen musik yang terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta, sitar dan kecer (Soetrisno, 1981: 10).
Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga pada aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11). Sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur (Palgunadi, 2002: 9).
Sedyawati dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama relief bangunan suci Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap tari pada relief–relief tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari tertentu. Kelima sikap kaki yang diuraikan dalam Natya Sastra semuanya jelas ada pada relief-relief tari ini terutama candi Siwa (Kompleks Prambanan) dan Borobudur, demikian juga pada bangunan suci Sewu. Alat musik yang terdapat pada adegan tarian tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme dan melodi. Alat musik yang ada seperti kendang susun tiga, cymbal, kendang silinder, tongkat gesek dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya antara seni tari dan seni musik ada kaitan yang erat dan saling membutuhkan (Sedyawati, 1981: 137).
Beberapa instrumen musik tampak pada relief candi Borobudur, misalnya relief karmawibhangga yang menceritakan hukum karma atau hukum sebab akibat yang dipahatkan pada dinding kaki candi. Seni tari dan seni musik sejak jaman dulu mendapat penghargaan yang tinggi terbukti dengan banyaknya relief alat musik dan adegan tarian pada dinding candi. Selain itu banyak juga naskah kuno yang menyebutkan keistimewaan alat musik gamelan dan sebagainya hingga tidak ada bandingnya di negeri lain di Asia Tenggara.

Gambar 1: Relief Candi Borobudur
Panil nomor Iba. 233a
( Foto: Edi Sedyawati)
Relief di atas menunjukkan adegan penari dan pemusik dengan instrumen musiknya (tanda panah). Bagian tengah panil memperlihatkan seorang penari wanita berdiri di atas suatu tempat yang agak tinggi (batur) dan di kiri penari berdiri seorang laki-laki berjenggot yang bertepuk tangan. Anggota badan manusia sebagai sumber bunyi (tepuk tangan), instrumen musik dengan jumlah yang minimal, dan pose bentuk tubuh manusia pada saat melakukan tarian secara sekilas memberikan informasi keterkaitan antara tari dan musik sebagai pengiringnya.
Kreativitas manusia pada proses perkembangan budaya saat itu setidaknya menunjukkan tingkatan kemampuan dalam berolah seni, meskipun bentuk gerakannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan gerakan tari pada saat ini. Demikian juga dengan jumlah dan jenis instrumen musik yang tidak sebanyak seperti saat ini, serta jenis instrumen yang terlihat masih sangat sederhana.
Pada kurun waktu berikutnya, tercipta beberapa instrumen musik dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai salah satu contoh adalah instrumen kendang. Beberapa istilah yang diperoleh dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan informasi bahwa instrumen kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk menyebutkannya, yaitu: padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan mredangga. Kreativitas masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang seiring dengan perjalanan waktu hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat instrumen musik Jawa secara lengkap yang disebut gamelan (Sutrisno, 1981: 5). Lebih spesifik disebut gamelan gedhe atau jangkep, yaitu seperangkat gamelan lengkap yang biasa dimiliki masyarakat secara umum (Palgunadi, 2002: 211).
Sejarah perkembangan alat musik gamelan telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog yang mempunyai perhatian besar pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil penelitian berdasarkan peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara terperinci dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Karawitan’ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun 1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat musik yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah yang kecil.
Proses perkembangan dalam rentang waktu hingga ratusan tahun membuahkan kreativitas untuk menggabungkan satu persatu dari alat musik yang ada menjadi kelompok yang lebih besar. Tahapan tertentu pada perkembangannya menghasilkan seperangkat alat musik dengan keragaman bentuk, ukuran, laras, teknik memainkan, dan estetika penyajiannya yang semakin baik. Akhirnya, perangkat ini disebut dengan istilah yang sangat dikenal, yaitu ‘gamelan’.
Fungsi Sosial Seni Karawitan Jawa
Dalam banyak masyarakat, fungsi seni karawitan Jawa dapat dijelaskan melalui terminologi sosial yang eksklusif: musik digunakan dalam tarian dan permainan; media pendidikan; terapi; mengorganisir kerja dan perang; dalam upacara dan ritual; penanda kelahiran, perkawinan dan kematian; merayakan panen dan penobatan; meneguhkan kepercayaan dan kegiatan tradisi. Orang dapat menikmati seni karawitan secara individual, tetapi belum tentu bermaksud untuk membuat perasaan mereka lebih nyaman.
Pendekatan penting dalam mempelajari dunia musik secara esensial adalah taksonomik atau klasifatori sebagai langkah pertama memahami musik dan budaya. Dalam pendekatan ini, suara musikal secara budaya digolongkan dalam: alat yang dipergunakan, bentuk musik, skala dan sistem penalaan yang digunakan, konteks sosial dimana musik tersebut hadir, dan sebagainya. Dengan menggunakan beberapa informasi tersebut, maka dimungkinkan untuk menemukan peta musik yang komparatif untuk mengelompokkan berbagai budaya dengan musik yang memiliki kesamaan.
Seni karawitan sebagai media pendidikan dapat dilihat dari sudut pandang cara membunyikannya, di mana karawitan menjadi sajian seni musik yang enak didengar bila dimainkan secara bersama-sama. Ini mencerminkan bahwa kebersamaan menjadi satu hal yang sangat penting untuk mencapai hasil musik yang berkualitas (garapan musikal). Berarti pula ini merupakan pendidikan budi pekerti agar kita hidup dalam kebersamaan saling bergotong royong, tenggang rasa, tepa selira, empan papan duga sulaya bukan waton sulaya, menghindari sifat egois dan individualis. Tidak heran apabila pendidikan seni karawitan Jawa lebih baik diberikan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita sebagai modal pemahaman kebersamaan. Melalui bangku pendidikan formal seperti Sekolah Menengah Karawitan Indonesia baik di Padang Sumatera Barat, Bandung Jawa Barat, Yogyakarta, Solo, Banyumas, Surabaya, Denpasar Bali dan Makasar menjadi contoh keseriusan pemerintah dalam menunjukkan upaya pelestarian budaya yang adiluhung ini.
Fungsi musik dalam dunia pendidikan juga diungkapkan oleh beberapa tokoh pendidikan musik di barat seperti Peter Fletcher dan Martin Cooper. Pendidikan musik penting diberikan karena dari itu kita bisa memperoleh pengetahuan teoritis dan kemungkinan lebih luas tentang teknik eksplorasi dalam berbagai eksperimen musikal yang mungkin akan muncul kemudian.
Ungkapan dan gagasan tersebut antara lain:
Tthe ancient Greek believed that music was the primary influence on the soul and the arithmetical proportions inherent in the harmonic series provided a vital link between science and aesthetics, mind and spirit. (Flecher, 1987: xii-xiii)

Pendapat lainnya tentang hal ini adalah seperti berikut:
Rhythm, pitch, intervals and andeed patterns are all subject to mathematical laws, and we should never forget that for at least the eight hundred years separating St Augustine from Plato, ‘music’ was considered a department and mathematics a department of phylosophy. (Cooper, 1988: 238)
Belakangan ini gencar diberitakan hasil mutakhir penelitian barat yang menyebutkan bahwa musik yang seimbang dalam 4 unsurnya yaitu melodi, harmoni, ritme dan timbre dapat dipergunakan sebagai media pendidikan dan mampu mempertajam kecerdasan dan meningkatkan IQ. Salah satu pendapat seorang pakar musik menyebutkan bahwa:
Dengan mengembangkan kemampuan musik maka akan dimiliki keunggulan-keunggulan yang menyertainya. Kegiatan latihan, mendengarkan dan menghargai musik akan meningkatkan perkembangan kognitif, fisik, emosi dan sosial (Djohan, 2003: 141).
Namun sesungguhnya nenek moyang kita telah menemukan konsep yang lebih unggul, yaitu apapun profesi seseorang setelah dewasa, pendidikan dasar semua anak adalah tari, olah tubuh, olah seni termasuk gamelannya (Hidajat, 2005: 20). Jadi seni tari dan seni musik juga memiliki kaitan erat dalam proses pendidikan dunia anak.
Merriam (1964: 225-267), menyebutkan bahwa ada 10 fungsi seni musik dalam kehidupan manusia yang telah berlangsung dari dulu hingga kini. Salah satunya berfungsi sebagai pendukung kegiatan ritual religius. Kegiatan ritual memiliki bermacam-macam maksud serta tujuan, antara lain ritual untuk penyembuhan, kesejahteraan, serta kesuburan. Mengenai fungsi musik pada ritual penyembuhan, Djohan (2006: 57) mengutip pernyataan Kenny menyatakan sebagai berikut:
Biasanya berupa penggunaan musik ritual milik suatu komunitas tertentu (baik komunitas religius, sosial atau kultural) untuk tujuan penyembuhan. Pada umumnya, ritus upacara sudah ada tetapi dapat juga diciptakan dan dikembangkan musik tertentu untuk tujuan khusus atau memenuhi kebutuhan kelompok tertentu.
Upacara ritual terasa lebih khusyuk dengan hadirnya kesenian yang mendampingi serta melengkapi perjalanan upacara. Ruwatan seperti murwakala, bersih desa, ruwat bumi, ruwat bangun terasa lengkap dengan hadirnya pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan iringan karawitan Jawa.
Lebih lanjut seperti yang ditulis Djohan (2008: 268), disebutkan bahwa musik seringkali digunakan sebagai bagian dari tim pengobatan interdisiplin termasuk pengurangan rasa sakit, kecemasan, manajemen stress, komunikasi, dan ekspresi emosi.
Banyak masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai seniman karawitan dengan kata lain menggantungkan hidupnya pada cabang seni ini sebagai tempat mencari penghasilan atau pendapatan. Karawitan menjadi hiburan dengan warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Sajian pangkur jenggleng, campur sari, panembrama, uyon-uyon, siteran gadhon, cokekan, langgam, santi swaran adalah “nomor-nomor pilihan” yang digemari masyarakat.
Seni karawitan juga bisa digunakan sebagai iringan seni yang lain, seperti tari, teater, dan pedalangan. Seni tari dengan seni musik karawitan memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya membangun daya hidup tari, dinamika dan penyuasanaan tertentu. Hidajat (2005: 53) dalam bukunya berjudul Wawasan Seni Tari menyatakan bahwa musik dalam karya seni tari (koreografi) bersifat fungsional setidaknya terdapat 3 fungsi antara lain: musik sebagai iringan gerak, musik sebagai penegasan gerak dan musik sebagai ilustrasi.
Musik sebagai pengiring gerak memberikan dasar irama pada gerak, gerakan. Kehadiran karawitan hanya dipentingkan untuk memberikan kesesuaian irama musik terhadap irama gerak. Pertimbangan secara umum pemilihan musik sebagai iringan selain kesesuaian irama dengan gerak adalah mampu mengungkapkan karakteristik. Oleh karenanya jenis musik sebagai iringan atau partner gerak ini pada umumnya untuk jenis koreografi dramatik yaitu koreografi yang tidak menekankan aspek cerita atau lakon yang disampaikan secara kronologis.
Lebih lanjut Hidajat (2005: 55) menyatakan bahwa musik sebagai iringan tari (bunyi instrumen) juga dapat terpisah dari gerakan penari, sebab gerakan tubuh penari dapat mengeluarkan sumber bunyi tertentu, seperti tepukan tangan, tepukan badan, depakan kaki, teriakan atau instrumen tertentu yang dipegang atau diikatkan pada anggota badan penari. Instrumen sebagai pengiring yang demikian itu disebut sebagai instrumen internal, sedangkan instrumen eksternal adalah instrumen yang mengeluarkan sumber bunyi jauh dari penarinya.
Musik sebagai penegas gerak oleh Hidajat diartikan bahwa musik memiliki karakteristik yang mirip dengan musik sebagai iringan tetapi lebih bersifat teknis terhadap gerakan, artinya musik tertentu berfungsi sebagai penumpu gerak dan musik yang lain memberi tekanan terhadap gerakan sehingga gerakan tangan, kaki atau bagian yang lain memiliki rasa musikalitas yang mantap.
Di dalam tari tradisi Jawa, salah satu instrumen yang berhubungan erat dengan fenomena ini adalah peran isntrumen kendang. Esensi instrumen kendang memiliki peran penting sebagai pembawa rasa seni karawitan ketika dijadikan partner tari. Karawitan tari belum dapat bermanfaat secara optimal tanpa adanya kendang, terutama bagi gerakan yang membutuhkan tekanan. Kendang sebagai pamurba irama atau pemimpin jalannya irama juga dapat menjadi mediator keseimbangan antara tari dengan karawitan (Trustho, 2005: 99).
Musik sebagai ilustrasi menurut Hidajat (2005: 54) adalah musik yang difungsikan untuk memberikan suasana koreografi sehingga peristiwa yang digambarkan mampu terbangun dalam persepsi penonton. Musik karawitan sebagai ilustrasi untuk membangun suasana pada umumnya digunakan pada koreografi yang berstruktur dramatari. Adegan-adegan yang dibangun membutuhkan dukungan penyuasanaan, baik untuk menggambarkan lingkungan tertentu atau untuk mengungkapkan suasana hati.
Sebuah garapan musikal iringan tari juga dipilih karena pertimbangan waktu yaitu ritme dan tempo. Pilihan ini dilakukan karena struktur metrikal musik yang memperkuat metrikal tariannya. Lewat struktur ritmisnya seni karawitan sebagai iringan membimbing terwujudnya struktur ritmis respon gerak. Di samping itu melalui penggunaan waktu, tempo dan intensitas, musik dapat pula mengendalikan kualitas, jangkauan dan intensitas gerak.
Musik karawitan Jawa sebagai iringan tari dapat mensugestikan atau mengekspresikan gerakan yang mengalir atau tersendat-sendat, gerakan maju atau mundur, kuat atau lemah, semangat, serius atau main-main. Seorang penata tari biasanya membutuhkan topangan musik yang mampu menguatkan kualitas gerak yang secara tepat mengikuti pola-pola ritme gerakan penari.
Nada-nada yang melodis dan harmonis yang ditimbulkan oleh nada-nada gamelan Jawa mengandung kualitas-kualitas emosional yang siap menunjang dan mengiringi unsur-unsur ritmikal gerak sehingga terciptalah suasana rasa sebuah tarian. Elemen musik seperti ritme, tempo, laya dan dinamika berfungsi sebagai sarana umpan balik dengan gerak tari dan juga untuk mengatur keseimbangan irama musik dengan irama tari. Irama merupakan faktor utama bagi sebuah sajian tari.
Saling ketergantungan antara seni tari dan musik ditegaskan oleh Sedyawati dalam tulisan ,” Permasalahan Sejarah Tari Dilihat Pada Khusus Masa Jawa Kuna” di majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia tahun 1980, IX no 2 dan 3 : 103-141 menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama relief bangunan suci Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap tari pada relief –relief tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari tertentu dan alat musik yang terdapat pada relief tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme dan melodi (Sedyawati, 2003: 18). Relief ini juga menjadi bukti bahwa seni musik memiliki peran penting pada kehidupan masa lalu. Perhatikan salah satu contoh relief candi sebagai berikut:

Gambar 2. Relief Candi Borobudur
Panil nomor Ia 95
Menggambarkan Sang Bodhisatva sedang diganggu para penari putri yang dipimpin oleh Mara. (Foto: reproduksi dari Krom, 1920)
Perkembangan Estetika Musikal Karawitan Jawa
Munculnya gamelan komputer pada abad XX ini terasa begitu mewarnai keberadaan seni karawitan pada masyarakat pendukungnya. Kehadirannya menjadi fenomena tersendiri di kalangan seniman karawitan. Terutama pada seniman karawitan yang tergolong generasi muda. Bagaimana tidak? Semangat baru muncul ketika budaya modern memasuki budaya tradisional ini. Contohnya adalah dimasukkannya perangkat musik modern seperti misalnya terompet dan snare drum pada iringan tari bedhaya di Kraton Yogyakarta atau gitar elektrik baik gitar string ataupun bass, keyboard, drum set pada kesenian campursari.
Kehadiran instrumen musik elektrik mewarnai perangkat instrumen gamelan yang megah, agung, artistik dan adi luhung dengan sejumlah niyaga yang dengan anggun lenggah semanggem. Cukup dengan menancapkan flash disk atau memasukkan CD ke dalam perangkat alat musik keyboard, suasana “dianggap” menjadi lebih meriah dan hingar bingar, sejalan serta seirama dengan perkembangan jiwa anak muda dan sebagian masyarakat pada umumnya. Hal ini sering kita jumpai pada hajatan-hajatan masyarakat seperti pernikahan, tasyakuran sunatan, ulang tahun pernikahan, dan sebagainya.
Secara ekonomis perkembangan seni budaya ini juga mempengaruhi pendapatan senimannya. Oleh karena kepopulerannya, maka kesenian ini sering ditanggap atau diundang sebagai pengisi acara sekaligus penghibur, dan dengan demikian berarti para pemain akan mendapat tambahan uang jasa.
Manusia adalah makhluk biokultural, ia adalah produk interaksi antara faktor-faktor biologis dan budaya. Sulit disangkal bahwa setiap perbuatan manusia apabila ditelusuri, pada akhirnya akan terlihat sesuatu yang terasa menghubungkan antara satu fenomen dengan fenomen yang lain. Sesuatu yang terus berulang. Bila dilihat dari cara menampilkan dirinya, bisa kita lihat bahwa manusia sebagai individu merupakan sisi yang amat penting untuk diamati dan dipelajari. Tiap individu mempunyai “rambu-rambu” dalam memilih tindakan, apakah dia akan kompromistis dengan sistem nilai yang ada atau mempunyai suatu naluri individual lainnya, yaitu mengambil jarak dan berkelompok dengan cara memilih individu dengan pertimbangan pikiran dan perasaan yang dimilikinya, baik yang bersifat instingtif maupun secara canggih yaitu dari olah pikir dan olah rasa, tegasnya mengenai pengetahuannya.
Pada perayaan pernikahan seringkali terjadi ketika perjalanan sepasang pengantin menuju pelaminan diiringan gending kodhok ngorek atau gending gati yang dipadu dengan instrumen terompet serta snare drum untuk memberikan tekanan irama musik. Nilai estetis akustik karawitan Jawa muncul dengan warna baru. Nada dan laras gamelan sebagai ciri khas musik Jawa terpadu dengan dentuman snare drum serta lengkingan terompet memberi kesan anggun berwibawa, lebih tegas dan mantap. Hal ini juga sering kita saksikan pada pertunjukan lain seperti wayang kulit purwa. Seorang dalang terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono “Si Dhalang Setan” pada waktu melakukan atraksi sabetan wayang kulit dalam sebuah adegan perang, pada garap iringannya sering ditambahkan instrumen musik barat seperti drum, cymbal dan trombon/terompet untuk mendukung suasana.
Seni tradisi dihadapkan secara diametral dengan perubahan yang pesat di segala sektor. Itulah yang secara sederhana disebut sebagai modern. Tradisi dan modern menjadi dua kutub yang bisa saling mengisi dan saling tarik menarik sehingga muncul warna baru, walaupun di satu sisi masih ada yang mempersoalkan efektifitas dan efisiensi. Memang perubahan membawa resiko yang besar dan serius tentang tatanan kehidupan (nilai-nilai) masyarakat.
Atas nama efektifitas dan efisiensi misalnya, ada kalanya “terpaksa” harus menggusur sebagian tradisi yang ada. Akan tetapi, pada suatu ketika muncul dilema, yakni ketika tradisi digusur, maka yang terjadi justeru ketidakjelasan. Sebuah gerak langkah tanpa arah dan pijakan. Arah yang terlalu kencang menuju ke titik sasaran di depannya, tetap membutuhkan kontrol, sebab sasaran di depan bisa jadi masih impian, angan-angan yang belum jelas benar sosok atau bentuknya. Sementara itu seni tradisi justeru memberikan kearifan, kemapanan, memberikan nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar pijak. Melangkah dengan pijakan yang jelas akan terhindar dari kegamangan.
Menempatkan seni tradisi di satu sisi dan perubahan di sisi yang lain secara proporsional akan terhindar dari diskusi yang melingkar-lingkar di sekitar dikotomi tradisi dan modern, yang berujung pada saling mempertentangkan. Saling mempertentangkan di antara keduanya artinya terjebak pada pemaknaan yang kurang cerdas dan arif, serta pilihan yang kurang bijaksana.
Pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat memilih salah sesuatu secara fanatik. Kita tidak dapat begitu saja menisbikan salah satu, kemudian menokohkan yang lainnya. Keduanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya memberikan nilai dan maknanya sendiri-sendiri. Masing-masing akan saling melengkapi dalam rangka meraih keselarasan.
Bagaimana dan dimana peran seni tradisi dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang secara eksplisit dapat dilihat dari potensi yang dimiliki oleh seni tradisi. Perubahan tanpa kesadaran membelah diri dengan karakter-karakter dasar akan beresiko sangat tinggi, misalnya terjadi disorientasi, kehilangan arah, dan karenanya menjadi limbung. Pada akhirnya akan melahirkan sebuah pribadi yang gamang atau suatu kelompok masyarakat tanpa identitas.
Revitalisasi seni musik tradisi seperti seni karawitan Jawa dalam era transformasi budaya yang berkecepatan mega speed seperti sekarang ini sudah dengan sendirinya mengandalkan adanya proyek-proyek penelitian yang diharapkan dapat mengembangkan genre ini sesuai percepatan aktivitas kita dan perubahan kultur serta nilai yang kadang sangat ekstrim dibanding dengan kondisi para pendahulu di masa lalu.
Perubahan dari budaya agraris menjadi budaya transisi industrial, perubahan gotong royong ke orientasi profesi, perubahan dari budaya tepa slira ke budaya formalisme, semuanya itu berpengaruh kepada perubahan visi, persepsi, sikap dan tanggapan kita, tidak saja kepada seni musik tradisi, bahkan kepada hubungan personal kita dengan orang lain.
Perkembangan satu demi satu seni musik tradisi kita telah membuktikan bahwa perhatian masyarakat terhadap genre ini kian hari kian bertambah dan apresiatif. Di satu pihak upaya revitalisasi dan rasionalisasi genre ini perlu disambut dengan baik, tetapi perlu juga diingat, bila hal ini tidak diikuti dengan pemikiran jangka panjang ke arah pembentukan masyarakat pendukungnya melalui transmisi formal (pendidikan), maka niat baik itu akan berubah menjadi “bumerang-bumerang” yang mematikan genre itu sendiri.
Tantangan yang kini kita hadapi dalam rangka revitalisasi seni musik tradisi dengan demikian sangat jelas dan sifatnya challenging. Pemikiran-pemikiran yang sifatnya tentatif, tergambar kemana arahnya, yakni ketidak jelasan perspektif atas masa depan dan perkembangan genre ini.
Perkembangan estetika musikal seni karawitan Jawa di masyarakat mempengaruhi berbagai aspek dalam masyarakat pendukungnya. Pengaruh tersebut antara lain berbagai faktor sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi:
Perpaduan budaya barat dan timur seperti yang terjadi pada seni karawitan Jawa memberikan warna baru pada kesenian ini. Hal ini mengakibatkan kesenian ini lebih digemari oleh generasi muda, dan secara langsung berpengaruh pula pada masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh: jumlah jadwal pentas bertambah banyak, maka pendapatan makin besar; penjahit baju seragam/kostum seniman mendapat tambahan pesanan jahitan; pengrajin gamelan mendapat tambahan pesanan instrumen dan sebagainya. Pokoknya masyarakat yang berhubungan dengan kesenian ini baik secara langsung maupun tidak langsung mendapatkan keuntungan yang relatif bisa dikatakan lebih dari biasanya.
2. Faktor Sosial
Prestise atau gengsi menjadi ciri dari masyarakat masa kini. Kadangkala ini menjadi tujuan. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa dengan mempergunakan peralatan yang berbau “modern kebaratan” berarti lebih canggih, tidak kuno dan kecanggihan ini bagi mereka (sebagian) dianggap mampu meningkatkan “gengsi”. Hal ini terbukti dengan hadirnya kesenian campursari yang memadukan alat musik Jawa dengan alat musik modern. Kenyataan di lapangan kesenian ini disukai oleh masyarakat/kaum muda. Begitu juga dengan pemain musiknya, seolah-olah kepercayaan dirinya meningkat tajam apabila tampil mempergunakan perangkat instrumen musik ini.
3. Faktor Budaya
Bila kita benar-benar memanfaatkan seni budaya ini, maka akan kita mendapatkan satu sumber media sosial, media pendidikan budi pekerti seperti: tenggang rasa, tepa selira, kebersamaan, dan gotong royong. Sifat individualis, egois akan terkikis dalam proses pendidikan karawitan Jawa oleh sebab untuk mencapai garapan musikal karawitan Jawa yang ideal sangat dibutuhkan kehalusan rasa, kejelian, ketelatenan, kesabaran, serta kebersamaan. Perasaan akan kerumitan, keremitan dalam garap gendhing (lagu) akan dihadapi siswa didik dalam proses pembelajaran karawitan Jawa pada awal proses latihan. Bila ini dilakukan terus-menerus pada saatnya nanti akan membentuk pribadi yang mampu menghargai orang lain, tidak mencari menangnya sendiri, sabar, teliti penuh toleransi. Setidaknya itulah yang diharapkan oleh nenek moyang kita melalui karawitan Jawa ini. Namun, kita tidak boleh terlena. Bila kita melihat kenyataan sekarang ini, dimana kehidupan semakin penuh dengan tantangan, seolah ramalan Rongowarsito “jamanne jaman edan, yen ora ngedan ora komanan” benar-benar semakin dekat bahkan seolah seudah menjadi kenyataan. Seni modern tidak bisa dipungkiri kehadirannya, namun kita harus mampu menjaga nilai tradisi.
Pengenalan seni karawitan Jawa sedini mungkin kepada anak-anak didik kita, meskipun hanya dengan menunjukkan gambar atau mendengarkan kaset rekaman sepertinya mampu memberi tambahan pengetahuan serta memperluas wawasan pengetahuan mereka. Semakin dini mereka mengenal, maka mereka akan semakin mencintai budaya sendiri yang penuh dengan pendidikan budi pekerti. Jangan sampai mereka “teracuni” oleh budaya-budaya yang negatif karena mereka (anak-anak) belum mampu membedakannya.
Bila tulisan di atas ditelaah dengan seksama, maka antara seni karawitan Jawa dan masyarakat pendukungnya (seniman tari tradisional, pengrawit/ pemusik, penghayat/pandhemen) sesungguhnya terdapat hubungan saling ketergantungan terhadap kebutuhan yang sama.
Keterkaitan atau hubungan saling menguntungkan antara pengrawit dan pandhemen dengan adanya seni karawitan terlihat dalam sistem susunan secara horisontal. Keterkaitan ini merupakan wujud relasi mutual simbiosis antara pengrawit dan pandhemen seni karawitan Jawa.
Kesimpulan
Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik yang menjadi salah satu objek penting dalam lingkup pembicaraan musik di antara ribuan alat musik lain yang terdapat di dunia. Sejak jaman prasejarah hingga kini seni karawitan telah mengalami berkali-kali perubahan baik pada bentuk maupun jumlahnya. Gamelan mempunyai posisi yang sangat unik pada proses perkembangan sejarahnya. Reputasinya mampu menembus wilayah percaturan musik dunia.
Beberapa keistimewaan gamelan Jawa terdapat pada aspek audio dan visualnya. Keistimewaan pada aspek audio meliputi: warna bunyi (tone colour), laras (scale system), embat (interval), dan pelayangan (sound wave), sedangkan keistimewaan pada aspek visualnya meliputi: bentuk, konstruksi, keindahan material yang dipakai, dan ornamennya.
Keistimewaan pada kedua aspek dan dukungan kualitas pada aspek musikalnya mendorong masyarakat dunia untuk mengakui bahwa gamelan Jawa adalah ‘the most sophisticated music in the world’. Negara yang sudah maju dan mempunyai peluang untuk mempelajari musik dunia, misalnya: Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Eropa, Australia, dan beberapa negara lainnya telah menjadikan gamelan Jawa sebagai lambang status pada beberapa universitasnya.
Fungsi musik karawitan Jawa dapat dijelaskan melalui terminologi sosial yang eksklusif: musik digunakan dalam tarian dan permainan; media pendidikan; terapi; mengorganisir kerja dan perang; dalam upacara dan ritual; penanda kelahiran, perkawinan dan kematian; merayakan panen dan penobatan; meneguhkan kepercayaan dan kegiatan tradisi. Orang dapat menikmati seni karawitan secara individual tetapi belum tentu bermaksud untuk membuat perasaan mereka lebih nyaman.
Hadirnya “gamelan komputer” pada abad XX ini terasa begitu mewarnai keberadaan seni karawitan pada masyarakat pendukungnya. Kehadirannya menjadi fenomena tersendiri di kalangan seniman karawitan. Terutama pada seniman karawitan yang tergolong generasi muda. Semangat baru muncul ketika budaya modern memasuki budaya tradisional ini.
Perkembangan estetika musikal seni karawitan Jawa di masyarakat mempengaruhi berbagai aspek dalam masyarakat, antara lain faktor ekonomi, faktor sosial dan budaya. Keterkaitan atau hubungan saling menguntungkan antara pengrawit dan pandhemen dengan adanya seni karawitan Jawa terlihat dalam sistem susunan secara horisontal. Keterkaitan ini merupakan wujud relasi mutual simbiosis antara pengrawit dan pandhemen seni karawitan Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Irwan T. (Ed.). 2009. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, PT Gramedia: Jakarta.
Bakker S. J., W. M. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yayasan Kanisius: Yogyakarta dan B. P. K. Gunung Mulia: Jakarta.
Copeer, Martin. 1988. Judgements Of Value; Selected Writing On Music, Dominic Cooper (ed.), Oxford University Press, London.
Djohan. 2003. Psikologi Musik, Buku Baik, Yogyakarta.
Djohan. 2008. Psikologi Musik, Kanisius, Yogyakarta.
Ferdinandus, PEJ. 2003. Alat Musik Jawa Kuno, Yayasan Mahardhika, Yogyakarta.
Flecher, Peter. 1987. Music and Educations, Oxford University Press, London.
Haberman Martini dan Meisel Tobei. 1981. Dance An Art In Academe, terjemahan Ben Suharto, Yogyakarta: Diterjemahkan dan distensil untuk kalangan Sendiri dalam Lingkungan ASTI Yogyakarta.
Haviland, W. A. 1985. Antropologi Jilid 2, Surakarta: Erlangga.
Hidajat, Robby. 2005. Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan, Banjar Seni Gantar Gumelar, Malang.
_____. 2005. Wawasan Seni Tari, Banjar Seni Gantar Gumelar, Malang.
Ihromi, T. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jatmiko, Aditya. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama, Yogyakarta: Pura Pustaka.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1980. Teori Sejarah Antropologi I, Jakarta: UI Press.
_______. 1988. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas.
_______. 1961. Beberapa Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Kunst, Jaap. 1973. Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Technique. 2 jilid. Edisi E.L. Heins. The Hague: Martinus Nijhoff.
Meriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music, terjemahan Triyono Bramantyo, North Western University Press, Bloomington.
Murgiyanto, Sal. 1983. Koreografi, Pengetahuan Dasar Komposisi Tari, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Nettl, Bruno. 1992. The Excursion in World Music, (New Jersey: Simon & Schuster.
Palgunadi, Bram. 2002. Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Penerbit ITB.
Peursen, C. A. van. 1976. Strategi Kebudayaan, Terj. Dick Hartoko, Yayasan Kanisius: Yogyakrta, 1976.
Soedarso Sp. 2003. Tinjauan Seni, sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.
______. 2006. Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi, Dan Kegunaan Seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.
Soedarsono, RM. 2003. Seni Pertunjukan: Dari Perspektif, Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soetrisno. 1981 Sejarah Karawitan, Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta.
Soetomo, Greg. 2007. Krisis Seni, Krisis Kebudayaan, Pustaka Filsafat: Yogyakarta.
Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java, Chicago: The University of Chicago Press.
______. 2002. Hayatan Gamelan, Surakarta: STSI Press Surakarta.
Trustho. 2005. Kendang Dalam Tradisi Tari Jawa, STSI Press, Surakarta.
Vetter, Roger. 2001. “More Than Meets The Eye and Ear: Gamelan and Their Meaning in A Central Javanese Palace”, dalam Journal of the Society for Asian Music. Vol. XXXII-2. University of Hawaii.
BIODATA PENULIS
Hartono lahir di Bantul, 9 Juni 1972. Menyelesaikan studi pada Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta (1998) dan Pengkajian Seni Musik Nusantara pada Pascasarjana ISI Yogyakarta (2010). Aktif dalam berkarya seni dan menulis. Sejak 2003 menjadi pengajar tetap di Program Studi Pendidikan Seni Tari Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Pengalaman berkarya seni antara lain:
1. Workshop seni karawitan Jawa bersama Kulturkontakt Jerman di beberapa negara di Eropa tahun 1999, yakni Jerman, Itali dan Perancis.
2. Workshop seni karawitan Jawa dan pentas pakeliran di Amerika pada tahun 2002 antara lain di:
a. University Of Illinois at Urbana Champaign, USA.
b. FROG (Friends Of The Gamelan) at Chicago, Illinois, USA.
c. Spring Concert bersama FROG (Friends Of The Gamelan) di Rockefeller Chapel, Chicago, Illinois, USA.
3. Duta Seni Budaya Indonesia sebagai penata musik dan penari bersama Universitas Negeri Malang (UM) ke Thailand tahun 2006.